Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati memaparkan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa ringan pada 2011 di Jakarta meningkat, semula dari 159.029 jiwa pada 2010 menjadi 306.621 jiwa di triwulan kedua 2011. Angka tersebut merupakan 14,1 persen dari total jumlah penduduk DKI Jakarta. Stressor (pemicu stres) lebih banyak dikontribusikan dari faktor lingkungan dibandingkan faktor internal individu. Kondisi kota besar yang diwarnai kemacetan, polusi udara, kebisingan dan meningkatnya beban ekonomi, serta ketidakpastian situasi sosial politik membuat ruang hidup masyarakat kian menyempit, hingga berdampak memberikan tekanan luar biasa pada kondisi mental emosional – yang mau tidak mau- memposisikannya senantiasa bergejolak.
Dalam skala nasional, rasio angka penderita depresi di DKI Jakarta berada diatas angka nasional sebesal 11,6 persen. Dari data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, jumlah penderita gangguan jiwa berat di Indonesia diperkirakan sebanyak 19 juta jiwa atau sekitar 11,6 persen dari total penduduk Indonesia.
Dikhawatirkan dengan kecepatan laju peningkatan angka penderita depresi tersebut, ditambah lagi kenaikan BBM 2013 sebagai kehadiran faktor stressor yang baru, angka penderita depresi di Indonesia dapat melonjak lebih jauh.
Implikasi depresi masyarakat tidak hanya mengganggu angka produktivitas, tetapi juga lebih luas berpotensi meningkatkan beban biaya kesehatan masyarakat lebih tinggi lagi. Karena gangguan kesehatan jiwa juga memberikan dampak psikosomatis pada gangguan kesehatan fisik lainnya, antara lain:
- Gangguan irama jantung
- Kebotakan
- Dermatitis (gangguan kulit)
- Diare, maag, ulkus dan gangguan pencernaan lainnya
- Gangguan mensturasi
- Hipertensi & stroke
- Disfungsi seksual
- Insomnia
- Bunuh diri
- Migrain, sakit kepala dan gangguan otak
- Obesitas, dan lain sebagainya.