Mayoritas kurikulum sekolah di Indonesia lebih banyak melakukan pendekatan untuk mengajari bagaimana cara menghafal pelajaran dan tidak menekankan bagaimana proses berpikir. Padahal cara berpikir jauh lebih penting dan berguna bagi anak didik di masa datang. Itu mengapa, indikator yang sering dijadikan ukuran untuk menilai anak didik berkualitas atau tidak lebih berdasarkan kuantitas nilai yang dicapai.
Tak ayal, kita terbiasa mengukur perkembangan anak didik berdasarkan nilai lebih gampang dan jelas indikatornya dengan hadirnya rapor, rangking, ijazah dan lain-lainnya. Padahal cara seperti itu sarat dengan subjektivitas pendidik.
Namun bukan berarti faktor nilai menjadi suatu hal yang tidak penting, persoalannya hanya pada ukuran kualitas anak didik juga harus diukur berdasarkan bagaimana mereka memiliki pola berpikir.
Intelegensi dan kecerdasan antara anak yang satu dengan yang lain hampir sama. Namun yang memiliki peranan penting dalam menentukan hasil akhir manusia dalam menghadapi suatu masalah jelas sekali ialah pola berfikir. Terkait dengan perbedaan yang timbul ketika dihadapi lingkungan, semangat hidup dan kemauan untuk maju.
Salah satu sebabnya adalah perbedaan cara berpikir mereka. Dan ini sangat berkait erat dengan bagaimana para guru menanamkan bagaimana cara berpikir yang benar pada anak didik.
Tak terkecuali pula pendidik juga jangan menganggap bakat sebagai satu-satunya alat untuk melihat masa depan potensi anak didik. Sebab, ada kalanya dalam suatu kasus bakat justru menjadi penghambat kemajuan.
Kehidupan itu tidak akan bisa dihadapi hanya dengan bakat. Prakek nyata adalah solusinya. Bagaimana mungkin orang yang baru belajar berenang dua atau tiga kali, tetapi belum bisa mengatakan bahwa ia tidak berbakat? Mengapa tidak melakukannya berulang-ulang (trial & error).
Di sinilah pentingnya peran orangtua di dalam menanamkan proses berpikir dalam mendidik. Bahwa proses berpikir itu jauh lebih penting dari sekedar mengkaitkannya dengan bakat. Jarang, untuk tidak mengataan tidak ada, pendidik yang menolak hubungan antara bakat dengan pengembangan anak didik.
Pada kebanyakan kasus para pendidik maupun orang tua terjebak pada aksioma,
“Oh kamu berbakat melukis” kepada anak didik yang mahir menggambar. Seharusnya kepada anak didik kita bisa mengganti pertanyaannya yang lebih motivatif dengan,
“Kamu akan bisa melukis seperti teman-temanmu, sebab menggambar tidak ada kaitannya dengan bakat. Yang penting praktek dan terus belajar, semua akan bisa diatasi” kepada anak yang belum bisa melukis. Penting sekali diingat, tanamkan bahwa semua orang punya bahan dasar intelegensi dan kecerdasan sama. Yang membuatnya berbeda ialah tergantung bagaimana mengolah bahan dasar tersebut.
Acapkali terjadi tiap anak didik yang sama intelegensinya namun pada akhirnya berbeda pada tingkat kesuksesannya di akhir nanti. Elemen alasan paling mendasarnya, orang yang lebih sukses itu berpikir dua atau tiga kali lipat dibanding orang yang tidak terlalu sukses tadi.
Penanaman pemahaman yang demikian tentunya akan lebih bermakna dan sangat berguna bagi anak didik dari sekedar menghafal pelajaran. Dampak positif lainnya adalah, anak didik yang “merasa” punya intelegensi rendah akan terpicu semangatnya mau untuk maju. Karena dengan ‘penyama-rataan kemampuan intelegensia’ tersebut, niscaya membuat mereka semakin percaya diri dan berpotensi untuk menciptakan kecerdasan yang dapat menandingi dengan teman-temannya.
Berikutnya kita perlu lebih banyak memberikan penugasan dan pelajaran yang tidak lagi menekankan pada hafalan namun tugas-tugas persoalan yang menekankan pada pengembangan proses berpikir.
Misalnya, bagaimana tanggapan anak didik terhadap permasalahan sosial yang dihadapinya. Misalnya, bagaimana sikap mereka terhadap kaum pengemis? Ini bisa dilakukan dengan model simulasi atau permainan yang menyenangkan kepada anak. Proses berikir di dalam menilai seorang pengemis akan memperlihatkan bagaimana mereka berpikir. Bukankah pengemis bagian dari masalah sosial yang suatu saat akan dihadapi anak didik?
Model seperti itu juga punya kelemahan. Kelemahan yang terasa adalah tidak semua pendidik punya wawasan luas tentang masalah tersebut. Tak jarang pendidik merasa lebih pintar dari anak didik, sehingga anak didik harus menjawab ini dan itu. Ketidaksamaan jawaban akan membuat peserta didik takut berbeda pedapat dengan pendidiknya. Ketakutan pada pendidik yang dibiarkan berlarut-larut ini tidak kondusif bagi pengembangan anak didik di masa datang, terutama sekali akan menghambat proses berpikir mereka
!sumber: klikdokter(dot)com